Tiga Masalah Dalam Khutbah Jum’at

Hingga kini, masih saja ada beberapa masjid yang menampilkan khatib dengan isi khutbah yang sering mengundang rasa permusuhan. Karena menjelekkan sesama umat Islam yang berbeda paham mengenai hal-hal yang tidak prinsipil dan memang dimungkinkan berbeda. Masalah tata cara ibadah (ubudiyah) yang menjadi khilafiyah di antara kelompok keagamaan,  masih rutin dimunculkan sebagai materi khutbah. Padahal, masalah seperti itu sangat sensitif. Mustahil semua hadirin sidang Jumat berprinsip sama karena mereka berasal dari kelompok dan pemahaman atau berlatar belakang berbeda-beda. Ada pula isi khutbah yang provokatif dan ajek mengajak ”perang”. Mungkin, bagi khatib demikian,  perang adalah satu-satunya bentuk jihad. Aksi mulia seperti menuntut ilmu, mengajar, riset yang bermanfaat dan berkarya (sengaja) ditiadakan dari makna jihad. Khatib ”model” demikian juga selalu menekankan siapa yang bersahabat dengan umat Yahudi adalah musuh Islam dan harus diperangi. Amerika Serikat (AS) adalah pendukung setia Israel, negara bangsa Yahudi, maka menurut khatib ”model” ini siapa pun yang bersahabat dengan AS dan belajar ke sana adalah musuh umat Islam dan harus dimusnahkan.

Khutbah untuk Kepentingan Politik

Dahulu, memang ada masa ketika khutbah dijadikan forum politik untuk saling menghujat dan melaknat lawan-lawan politik. Ketika khatibnya orang Bani Umayah, khutbahnya di akhiri dengan kutukan kepada para pengikut Ali yang disebut Syiah (partai Ali). Sebaliknya, ketika khatibnya dari kalangan pendukung Ali, yang dikutuk pasti orang Bani Umayah. Setelah kejadian itu, Umar bin Abdul Aziz memberi nasihat agar hal seperti itu jangan diteruskan. Umar meminta para khatib untuk mengakhiri khutbah-khutbah mereka dengan QS An-Nahl ayat 90. Mayoritas isi khutbah Jumat era sekarang (kecuali yang “model” penulis sebut di atas) adalah warisan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Yang selalu mengakhiri khutbah dengan kutipan QS An-Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Adapun, tampilnya para khatib di mimbar Jumat “model” isi khutbahnya yang tidak membuat jamaah tenang. Melainkan malah meresahkan dengan menyalahgunakan posisi strategis mimbar Jumat. Para khatib demikian tak menyadari bagaimana dampaknya nanti khususnya kepada hadirin sidang salat Jumat.

Khutbah yang Provokatif

Selain itu, jika isi (materi) khutbah hanya seputar menjelekkan kelompok lain dan provokatif tanpa data-data akurat dan faktual, jelas tak akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini yang kini tak ubahnya hama yang sulit dibasmi. Padahal, betapa banyak dan menjamurnya berbagai penyakit bangsa yang tak kunjung hilang. Bahkan, berbagai penyakit bangsa ini malah kian merajalela. Penyakit-penyakit itu antara lain korupsi, premanisme, seks bebas, kekerasan serta persoalan bangsa lainnya juga seharusnya ”disambut” oleh para khatib dan takmir masjid sebagai materi di mimbar Jumat untuk pencerahan umat.

Khutbah Kehilangan Gagasan Baru

Di sisi lain, khutbah pun kehilangan ruh untuk mencipta gagasan-gagasan baru. Pendengar jarang mendapat keterkejutan atas materi yang disampaikan. Beberapa khatib pasrah pada buku khutbah Jumat yang ada. Padahal, buku khutbah tersebut cenderung berisi kumpulan ayat Al-Qur’an dan hadis apa adanya. Tanpa melalui penelaahan mendalam serta miskin data dan lemah analisis. Akibatnya, dalil, kisah, riwayat yang dipakai para khatib adalah data klasik yang tidak pernah ada pengembangan dari waktu ke waktu. Berangkat dari fakta tersebut, diperlukan inisiatif dari takmir masjid untuk mempersiapkan naskah khutbah. Kewajiban ini pula dapat dibebankan kepada para da’i dan khatib agar senantiasa memperlakukan mimbar Jumat sebagai ajang intelektual, serta orasi pembebasan dan pencerahan. Hal tersebut dapat dicapai dengan membangun tradisi literasi khutbah Jumat. Tradisi menulis seperti inilah yang harus kembali dihadirkan para khatib sehingga pada saatnya nanti isi khutbah yang disampaikan mampu menjadi rujukan yang mumpuni. Hal ini akan menuntut para khatib untuk mampu mengangkat realita kehidupan, apa yang sebenarnya dirasa dan dijalani oleh masyarakat. Kemudian membuka kembali pintu ijtihad. Baca Juga  Teks Ceramah Tarawih: Pentingnya Zakat dan THR untuk PRT Membuka gagasan intelektual mutakhir untuk mengurai polemik kehidupan dari berbagai dimensi historis, sosiologis, dan ajaran berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Dua Cara Menulis Khutbah Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa peran persuasif khatib dapat berpengaruh pula pada penyampaian materi terhadap jamaah. Jika si khatib berpidato dengan suara pelan dan lembut tentu akan membuat jamaah mengantuk sehingga tidak memperhatikan materi yang disampaikan. Maka dari itu, takmir hendaknya menyeleksi khatib yang kiranya berkompeten untuk menyampaikan pesan-pesan dalam naskah yang telah dibuatnya. Takmir bisa memberikan semacam arahan atau training bagi para khatib pemula. Dukungan naskah yang menarik tentu akan berpengaruh terhadap gaya penyampaian khatib. Adapun strukur penulisan khutbah yang dapat memberikan pencerahan adalah dengan menggunakan paradigma kontekstual serta rekonstruktif. Kemudian disertai dengan nilai-nilai sastra. Namun patut menjadi catatan, untuk mengaplikasikan gagasan ini, tentu harus memperhatikan materi-materi yang wajib hadir dalam naskah khutbah di antaranya: (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athi’ullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama), (5) Membaca doa untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua..

Sumber : – https://ibtimes.id/kiat-menulis-naskah-khutbah-jumat-agar-kreatif-dan-mencerahkan/

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*